Pertarungan 7 Dekade
Seorang perepuan berjalan menuju arah mentari
Ia berjalan tanpa geming pada pesisir pantai selatan sore itu
Tapak kaki nya lemah namun penuh kepastian
Rambutnya panjang sepinggang
Melepaskan diri dari ikatan sanggul masyhurnya
Terurai tertiup angin kesana kemari tak berarah
Matanya kosong tapi tajam mengintimidasi buih lautan
Pada pasir yang ia lewati meninggalkan luka
Menjadikannya bekas tanpa pernah mau sembuh disembuhkan
Kemudian ditiap partikel angin ia membisiskan jantur
Tanpa ia ketahui residunya mengkristal dan baka
Disebarluaskannnya berita itu pada udara yang kemudian naik menuju awan
Yang menjadikannya rerintik hujan nian badai
Jantur perempuan itu luar biasa bukan kepalang
Hingga ketika burung gagak melewatinya
Jatuh seketika melarihan ruh tanpa nego pada jasad
Tapi ia tidak peduli pada apa yang terjadi pula beberapa lama ia berjalan menitih penantian
Yang ia genggam dan agungkan hanya
“keyakinan seorang perempuan dan hamba pada Tuhannya atas nama Kinasih tak pernah main-main”
Pada luka yang puncak ia harap ada badai hrbat yang membuatnya punya alasan untuk mati
Atau bahkan keinginan untuk dikawini air laut
Tergulung lalu menjadikannya tiada
Namun percayalah, bukankah badai di pantai selatan itu hampir tiap minggu?
Bahkan laut pantai selatan akan selalu meminangb hati yang hilang meski tanpa permintaan
Bahkan duniapun murka ketika perempuan mengalun dengan luka
Lalu kemurkaan semesta sebelah mana yang mampu menyentuh perempuan ketika titik yakinnya telah mesra pada Dzat-Nya
Perempuan itu masih berjalan
Tanpa lenggok tanpa lambai
Dadanya penuh bekas ledakan chernobyll
Kepalanya penuh sisa tembakan
Berjalan menuju timur
Kearah timur mengacuhkan diorama oleh nyiur
Tak ada yang mengerti awal mula kisahnya
Namun perjalanannya melegenda
Bahkan langit pun berkabung atasnya
Desir ombak tak sampai hati
Hingga ingin menelannya bulat bulat
Namun perempuan tetap perempuan
Yang kakinya kecil mengakar hingga nirwana
Tuntas ia pada penghujung pasir
Hingga pada bibir tebing ia meraung raung
Menangis hingga ke relung, namun tak sedikitpun air matanya jatuh
Karena demi kesaksiannya pada bumi dan langit
Cintanya tak pernah mengizinkan tangis
Namun menanam perih hingga berdarah seluruh rongga-rongganya
Sesaat sesampainya ia pada tatap mata terik
Perempuan itu menyalak , mengaku hamba daripada lelaku rampak
Perempuan itu memaki, mengapa dan kenapa
Harus begitukah debur ombak berkidung
Lalu ia meminta dilarung, di kedalaman paling mengerikan
Perempuan itu tiba disebuah tepi laguna
Duduk bersimpuh diatas sebuanh bangkai kayu
Menggantungkan kaki penuh lukanya
Lalu menangis setangis tangisnya, menangis sejadi jadinya
Menagis hingga air matanya mengering
Menangis hingga menjadi tawa
Berteriak hingga tak bersuara
Hingga seolah olah bulan jatuh pada sorot matanya
Bibir yang begitu ranum membungkam rapat
Hingga tuah tuah melancar daripadanya
“terkutuk kau yang tidak menhadiahiku temu, semoga kau lebih rindu daripada aku!”
Dan menjadi jasad dingin diantara mataku
Kutarikh namamu pada segala bayu
Hingga celah semutpun tahu siapa engkau, kinasihku!
Menguitukmu atas namaku!
Perempuan itu tenggelam dalam lamunanya
Tentang segala yang tidak pernah terjadi dalam kepalanya
Rasa adalah candu
Pahit, getir, serat perih mengintimidasi
Apa perempuan itu buta?
Tentu tidak!
Segalanya masih jernih
Lalu apa perepuan itu tuli?
Tentu saja tidak !
Telingganya masih jelas
Hanya saja hatinya luka
Haha
Lukanya tidak segera sembuh
Lalu itu pula yang melukai akal sehatnya
Begitulah perempuan
TAMAT
Komentar
Posting Komentar